BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Tingginya angka
kematian ibu dan anak umumnya akibat ahli kebidanan atau bidan terlambat
mengenali, terlambat merujuk pasien ke perawatan yang lebih lengkap, terlambat
sampai di tempat rujukan, dan terlambat ditangani.
Penanganan
rujukan obstetri merupakan mata rantai yang penting, menjadi faktor penentu
dari hasil akhir dari kehamilan dan persalinan. Kurang lebih 40% kasus di RS
merupakan kasus rujukan. Kematian maternal di RS pendidikan 80-90% merupakan
kasus rujukan. Kematian perinatal di RS pendidikan kurang lebih 60% berasal
dari kelompok rujukan.
Oleh karena itu
bidan wajib mempelajari materi ini untuk dapat mencegah dan menangani langsung
komplikasi-koplikasi yang mungkin terjadi pada persalinan kala III.
B. Rumusan Masalah
1.
Komplikasi apa saja yang terjadi
pada persalinan kala III ?
2.
Bagaimana cara menangani
komplikasi yang terjadi pada kala III ?
C. Tujuan
1.
Mampu menjelaskan komplikasi apa
saja yang terjadi persalinan kala III.
2.
Mampu menjelaskan penanganan
komplikasi persalianan kala III.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Perdarahan pada kala III
Perdarahan pada kala III umum terjadi dikarenakan terpotongnya
pembuluh-pembuluh darah dari dinding rahim bekas implantasi plasenta/karena
sinus-sinus maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka.
Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot
uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya
tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Jumlah darah
yang umum keluar tidak lebih dari 500cc. Apabila setelah lahirnya bayi
darah yang keluar melebihi 500cc maka dapat dikategorikan mengalami perdarahan
pascapersalinan primer. Pada pasien yang mengalami perdarahan pada kala III
atau mengalami pengeluaran darah sebanyak >500cc, tanda-tanda yang dapat
dijumpai secara langsung diantaranya perubahan pada tanda-tanda vital seperti
pasien mengeluh lemah, linglung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/mnt, kadar Hb <8 g%.
Perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu.
Hal-hal yang menyebabkan perdarahan post partum adalah :
A. ATONIA UTERI
1.
Pengertian:
Atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering
untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme
utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena
kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara
fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi. Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang
tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.
Atonia uteri
adalah tidak adanya tegangan/ kekuatan otot pada daerah uterus/rahim. (Kamus
Kedokteran Dorland).
Atonia uteri
adalah dimana rahim tidak dapat berkontraksi dengan baik setelah persalinan,
terjadi pada sebagian besar perdarahan pasca persalinan. (Obstetri edisi ke 2, 1998:254).
2.
Etiologi:
Atonia uteri
dapat terjadi karena:
a.
Partus lama, karena tak ada pemicu
kontraksi/hormon oksitosin lemah.
b.
Pembesaran uterus yang berlebihan
pada waktu hamil seperti pada hamil kembar, hidramnion, janin besar.
c.
Kegagalan kontraksi uterus/ otot
rahim.
d.
Multiparitas.
e.
Anastesi yang dalam.
f.
Anestesi lummbal.
g.
Terjadinya retroplasenta→perdarahan
plasenta dalam uterus.
Atonia juga dapat timbul karena
salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya
kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus.
3.
Diagnosis
Diagnosis
biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu
pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalm waktu lama, tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat.
4.
Gejala
a.
Nadi serta pernafasan menjadi lebih
cepat.
b.
Uterus tidak berkontraksi dan
lunak.
c.
Tekanan darah menurun.
d.
Syok karena perdarahan.
e.
Kala III : perdarahan dari
liang senggama 500cc/lebih.
Perbedaan perdaraha atonia uteri dan perdarahan karena
robekan serviks.
Perdarahan Karena Atonia
|
Perdarahan Karena Robekan Serviks
|
o Kontraksi
uterus lemah.
o Darah
berwarna merah tua karean berasal dari vena.
|
o Kontraksi
uterus lemah.
o Darah
berwarna merah muda karena berasal dari arteri.
o Biasanya
timbul setelah persalinan operatif.
|
5.
Penanganan Atonia Uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan
Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir
(Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter
Intravenous drips 100-150 cc/jam. Pemberian oksitosin rutin pada kala
III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan
tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh
oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan
sebagai pencegahan perdarahan postpartum.
Terapi
terbaik adalah pencegahan :
a.
Anemia
Anemia dalam kehamilan harus
diobati, karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan
penderita yang sudah menderita anemia.
b.
Apabila sebelumnya penderita sudah
mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung dirumah
sakit.
c.
Kadar fibrinogen harus diperiksa
pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solution plasenta.
d.
Dalam kala III uterus jangan dipijat
dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya.
6.
Pengobatan:
Pengobatan
perdarahan post partum pada uteri tergantung pada banyaknya perdarahan yang
diderita dan derajat atonia uteri. Dibagi dalam 3 tahap:
a.
Tahap I : Perdarahan yang tidak
begitu banyak dapat diatasi dengan cara:
1)
Pemberian uterotonika, misalnya
oksitosin 10IU dan infuse 20 IU dalam 500 ml NS/RL tetes/guyur.
2)
Mengurut rahim.
3)
Memasang gurita.
b.
Tahap II : bila perdarahan belum
berhenti dan bertambah banyak selanjutnya berikan infuse dan transfuse darah,
dan dapat dilakukan:
1)
Kompresi bimanual.
2)
Kompresi aorta.
3)
Tamponade uterovaginal.
4)
Jepitan arteri uterine dengan cara
Henkel
c.
Tahap III : bila semua upaya diatas
tidak menolong juga, maka usaha terakhir adalah menghilngkan sumber perdarahan,
dapat ditempuh dengan dua cara yaitu dengan metigrasi arteri
hipogastrika/histerektomi.
B. RETENSIO PLASENTA
1.
Pengertian
Perdarahan post partum dini dapat terjadi sebagai akibat
tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin. Bila hal tersebut terjadi,
harus di keluarkan secara manual atau dikuretase disusul dengan pemberian
obat-obatan uterotunika intravena. Perlu dibedakan antara retensio placenta
dengan sisa plasenta (rest placenta). Dimana retensio placenta adalah plasenta
yang belum lahir seluruhnya dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan
sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat
menimbulkan perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder.
Beberapa pengertian mengenai
retensio plasenta :
a.
Retensio plasenta adalah apabila
plasenta belum lahir setengah jam sesudah anak lahir. (Sinopsis Obstertri jilid I : 299).
b.
Retensio plasenta adalah apabila
plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir. (Ilmu kebidanan : 656).
c.
Retensio plasenta adalah
tertahannya/ belum lahirnya plasenta hingga/ melebihi waktu 30 menit setelah
bayi lahir. (Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal : 299).
d.
Retensio plasenta adalah
terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi. (Ilmu Kebidanan Dan Penyakit Kandungan IBG. Manuaba :
300).
2.
Patofisiologi.
Retensio
plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan
sinus-sinus darah tetap terbuka, dan menimbulkan HPP. Begitu bagian plasenta
terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi di daerah itu. Bagian plasenta
yang masih melekat merintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung
terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan.
3.
Diagnosa
Pada
pemeriksaan luar: fundus/korpus ikut tertarik apabila tali pusat ditarik.
Pada
pemeriksaan dalam: sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam.
4.
Penegakan Diagnosis
a. Plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir.
b. Gejala dan tanda yang bisa ditemui
adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak
berkurang.
Jenis-jenis
retensio plasenta:
a.
Plasenta
Adhesiva
adalah
implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkankegagalan
mekanisme separasi fisiologis. Keterangan : tipis sampai hilangnya lapisan
jaringan ikat Nitabush, sebagian atau seluruhnya sehingga menyulitkan lepasnya
plasenta saat terjadi kontraksi dan retraksi ototuterus.
b.
Plasenta Akreta
adalah
implantasi jonjot korion plasetita hingga memasuki sebagian lapisan miornetrium. Keterangan :
Hilangnya lapisan jaringan ikat longgar Nitabush sehingga plasenta sebagian atau seluruhnya mencapai lapisan desidua basalis. Dengan demikian agak sulit melepaskan diri saat kontraksi atau retraksi otot
uterus, dapat terjadi tidak diikuti perdarahan karena sulitnya plasenta lepas. Plasenta manual sering
tidak lengkap sehingga perlu diikuti dengan
kuretase.
c.
Plasenta Inkreta
adalah
implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / memasuki miornetrium. Keterangan :
Implantasi jonjot plasenta sampai mencapai otot uterus sehingga,
tidak mungkin lepas sendiri. Perlu dilakukan plasenta manual, tetapi tidak
akan lengkap dan harus diikuti
(kuretase tajam dan dalam, histeroktomi).
d.
Plasenta Perkreta
adalah
implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. Keterangan : jonjot plasenta menembus lapisan otot dan
sampai lapisan peritoneum kavum
abdominalis. Retensio plasenta tidak diikuti perdarahan, plasenta manual sangat sukar, bila dipaksa akan terjadi perdarahan dan sulit
dihentikan, atau perforasi. Tindakan definitif :
hanya histeroktomi.
e.
Plaserita Inkarserata
adalah
tertahannya plasenta di dalam kavum utrri disebabkan oleh kontriksi
osteuniuteri. Keterangan : plasenta
telah lepas dari implantasinya, tetapi tertahan oleh karena kontraksi
SBR
5.
Etiologi
Penyebabnya
ialah :
Perlekatan
plasenta/ plasenta belum lepas dari dinding uterus, karena tumbuh melekat lebih
dalam yang menurut tingkat pelengkatannya dibagi menjadi:
a.
Plasenta Adhesiva, yang melekat pada
desidua endometrium lebih dalam.
b.
Plasenta Inkreta, dimana villi
koriales tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
c.
Plasenta Akreta, yang menembus lebih
dalam kedalam miometrium tetapi belum menembus serosa.
d.
Plasenta prekreta, yang menembus
samapi serosa/peritoneum dinding rahim.
e.
Plasenta sudah lepas tetapi belum
keluar karena Atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau
karena adanya lingkaran kontriksi pada bagian bawah rahim akibat
kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarsereta).
6.
Faktor-faktor Predisposisi
a.
Grandemultipara
b.
Kehamilan Ganda, sehingga
memerlukan implantasi plasenta yang agak luas
c.
Kasus inferilitas, karena lapisan
endometriumnya tipis
d.
Plasenta previa, karena di bagian
istmus uterus, pembuluh darah sedikit, sehingga perlu masuk jauh kedalam
e.
Bekas operasi pada uterus.
f.
Bentuk perdarahan:
1)
Perdarahan pasca partus
berkepanjangan sehingga patrun pengeluaran lokhea, disertai darah lebih dari
7-10 hari.
2)
Dapat terjadi perdarahan baru setelah patruin
pengeluaran lokhea normal.
3)
Dapat berbau, akibat infeksi.
7.
Gejala Retensio Plasenta
Gejala
|
Separasi/ akreta parsial
|
Plasenta inkarsereta
|
Plasenta akreta
|
1)
Konsistensi uterus
2)
Tinggi fundus
3)
Bentuk uterus
4)
Perdarahan
5)
Tali pusat
6)
Ostium uteri
7)
Separasi plasenta
8)
Syok
|
Kenyal
Sepusat
Discoid
Sedang-banyak
Terjulur sebagian
Terbuka
Lepas sebagian
Sering
|
Keras
2 jari bawah pusat
Agak globuler
Sedang
Terjulur
Konstriksi
Sudah lepas
Jarang
|
Cukup
Sepusat
Discoid
Sedikit/tidak ada
Tidak terjulur
Terbuka
Melekat seluruhnya
Jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan
kuat pada tali pusat.
|
8.
Komplikasi
a.
Sumber infeksi.
b.
Terjadi plasenta polip.
c.
Degenerasi korio karsinoma.
d.
Dapat menimbulkan gangguan pembekuan
darah.
9.
Penatalaksanaan
Penanganan
retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum
lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai
perdarahan.
a.
Tindakan penanganan retensio plasenta :
1)
Memberikan informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan
dilakukan
2)
Mencuci tangan secara efektif
3)
Melaksanakan pemeriksaan umum
4)
Mengukur vital sign, suhu, nadi, tensi, pernafasan
5)
Melaksanakan pemeriksaan kebidanan (inspeksi,
palpasi, periksa dalam)
6)
Memakai sarung tangan steril
7)
Melakukan vulva hygiene
8)
Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
9)
Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir, atau terjadi perdarahan sementara
placenta belum lahir, maka berikan oxytocin 10 IU IM.
10) Pastikan bahwa kandung kencing kosong
dan tunggu terjadi kontraksi, kemudian coba melahirkan plasenta
dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
11) Bila dengan tindakan tersebut
placenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka placenta harus
dilahirkan secara manual
12) Berikan cairan infus NACL atau RL
secara guyur untuk mengganti cairan
b.
Manual Plasenta :
1)
Memasang infus cairan dekstrose 5%.
2)
Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya
dalam keadaan suci hama.
3)
Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan
kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai
penuntun.
4)
Tepi plasenta dilepas – disisihkan dengan tepi jari-jari
tangan – bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada
luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta berbahaya
karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi
C. INVERSIO UTERI
Pada
inversion uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali
ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III/ segera setelah plasenta keluar.
Menurut perkembangannya inversion uteri dapat dibagi dalam beberapa tingkat,
yaitu :
1.
Fundus uteri menonjol kedalam kavum
uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut.
2.
Korpus uteri yang terbalik sudah
masuk kedalam vagina.
3.
Uterus
dengan vagina, semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina.
1.
Gejala-gejala Klinik
Inversio uteri bisa terjadi
spontan/ sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan
tekanan intra abdominal dengan mendadak karena batuk/ meneran, dapat
menyebabkan masukmya fundus kedalam kavum uteri yang merupakan permulaan
inversion uteri.
Tindakan yang dapat
menyebabkan inversion uteri adalah prasat Crede pada korpus uteri yang tidak
berkontraksi baik, dan tarikan pada tali pusat plasenta yang belum lepas dari
dinding uterus. Gejala-gejala inversion uteri pada permukaan tidak selalu
jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat,
seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri
yang keras disebabkan kareana fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum
infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri kedalam terowongan
inversion dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat pada peritoneum
parietal. Kecuali jika plasenta yang seringkali belum lepas dari uterus masih
melekat seluruhnya pada dinding uterus, terjadi juga perdarahan.
2.
Diagnosis
Diagnosis tidak sukar dibuat
jika dingat kemungkinan inversion uteri. Pada perdarahan dengan syok,
perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala
III/ setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang
lunak diatas servik uteri/ didalam vagina, sehingga diagnosis inversion uteri
dapat dibuat.
Pada mioma uteri submukosum
yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus
uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma
lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali
mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan/ hampir cukup bulan.
3.
Prognosis
Walaupun
kadang-kadang inversio uteri bisa terjadi tanpa banyak gejala dengan penderita
tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan
gawat dengan angka kematian tinggi(15-70%). Reposisi secepat mungkin memberikan
harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
4.
Penanganan
Dalam memimpin persalinan
harus dijaga kemungkinan timbulnya inversion uteri. Tarikan pada tali pusat
sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan apabila dicoba melakukan
prasat Crede harus diindahkan sebelumnya syarat-syaratnya.
Apabila
terdapat inversio uteri dengan gejala syok, gejala-gejala itu perlu diatasi
terlebih dahulu dengan infuse intravena cairan elektrolit dan transfuse darah,
akan tetapi segera setelah itu reposisi harus dilakukan. Makin kecil jarak
waktu antara terjadinya inversion uteri dan reposisinya, makin mudah tindakan
ini dapat dilakukan. Untuk melakukan reposisi yang perlu diselenggarakan dengan
anesthesia umum, tangan seluruhnya dimasukkan kedalam vagina sedang jari-jari
tangan dimasukkan kedalam kavum uteri melalui serviks uteri yang mungkin sudah
mulai menciut, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan tetapi terus
menerus kearah atas agak kedepan sampai korpus uteri melewati serviks dan
inversio ditiadakan. Suntikan intravena 0,2 mg ergometrin kemudian diberikan
dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal.
Apabila reposisi pervaginam
gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultein. Dikerjakan laparotomi,
dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan
penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedkit, kemudian luka dibelakang
uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup.
Pada inversion uteri
menahun, yang ditemukan beberapa lama setelah persalinan, sebaiknya ditunggu
berakhirnya involusi untuk kemudian dilakukan pembedahan pervaginam(pembedahan
menurut Spinelli).
D. EMBOLI AIR KETUBAN
1.
Pengertian
Emboli cairan ketuban
merupakan sindrom dimana setelah sejumlah besar cairan ketuban memasuki
sirkulasi darah maternal, tiba – tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan
shock 25% wanita yang menderita keadaan ini meninggal dunia dalam waktu 1 jam.
Emboli cairan ketuban jarang dijumpai, kemungkinan banyak kasus tidak
terdiagnosa, diagnosa yang dibuat adalah Shocikk obstetric, perdarahan post
partum atau edema pulmoner akut.
Cara masuknya cairan
ketuban. Dua tempat utama
masuknya cairan ketuban kedalam sirkulasi darah maternal adalalah vena
endocervical (yang dapat terobek sekalipun pada persalinan normal) dan daerah utero
plasenta. Ruputra
uteri meningkat kemungkinan masuknya cairan ketuban. Abruption plasenta
merupakan peristiwa yang sering di jumpai, kejadian ini mendahului atau
bersamaan dengan episode emboli.
a.
Emboli air ketuban adalah syok yang
berat sewaktu persalinan selain oleh plasenta previa dapat disebabkan pula oleh
emboli air ketuban.(Obstetri Patologi. 1981:128).
b.
Emboli air ketuban adalah merupakan
salah satu penyebab syok disebabkan karena perdarahan.(Ilmu Kebidanan.
2002:672).
c.
Emboli air ketuban adalah syndrome
dimana setelah sejumlah besar air ketuban memasuki sirkulasi darah maternal,
tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan syok.(Ilmu Kebidana
Patologi dan Fisiologi Harry OXORN,493).
2.
Etiologi
Masuknya air
ketuban ke vena endosentrik/sinus yang terbuka didaerah tempat perlekatan
plasenta.
3.
Faktor Prediposisi
a.
Ketuban sudah pecah.
b.
His kuat.
c.
Pembuluh darah yang terbuka(SC
rupture).
d.
Multiparasit.
e.
Kematian janin intrauterine(IUFD).
f.
Mekonium dalam cairan amnion.
g.
Usia diatas 30 tahun.
h.
Persallinan pesipitasus(kurang dari
3 jam).
4.
Gejala
a.
Gelisah.
b.
Mual muntah disertai takikardu dan
dispnea.
c.
Sianosis.
d.
TD menurun.
e.
Nadi cepat dan lemah.
f.
Kesadaran menurun.
g.
Nistasmus dan kadang timbul kejang
tonik klonik.
h.
Syok.
5.
Komplikasi
a.
Gangguan pembekuan darah.
b.
Edema paru.
c.
Kegagalan dan payah jantung kanan.
6.
Patofisiologi.
a.
Mekanisme kardiovaskuler kolap.
1)
Air ketuban yang terhisap dengan
benda padatnya(rambut lanugo, lemak dan lainnya) menyumbat kapiler paru,
sehingga terjadi hipertensi pulmonum, edema paru dan gangguan pertukaran O2 dan
CO2.
2)
Akibat hipertensi pulmonum
menyebabkan;
a)
Tekanan atrium kiri turun.
b)
Cardiac output menurun.
c)
Terjadi penurunan tekanan sistemik
yang menyebabkan syok berat.
3)
Gangguan pertukaran O2 dan CO2
menyebabkan sesak nafas, sianosis dan gangguan pengaliran O2 kejaringan
mengakibatkan;
a)
Metabolik asidosis.
b)
Anaerobik metabolisme.
c)
Tekanan atrium kiri turun.
4)
Edema paru dan gangguan pertukaran
O2 dan CO2 menyebabkan;
a)
Terasa dada sakit dan berat.
b)
Penderita gelisah karena kekurangan
O2.
c)
Dikeluarkannya histamine yang
menyebabkan bronkospasme.
5)
Terjadi reflex nerfus yang
menyebabkan;
a)
Brakikardi.
b)
Kasokontriksi arteria koroner
menimbulkan gangguan kontriksi otot jantung akut cardiac arrest.
6)
Manifestasi keduanya menyebabkan
syok dalam, kedinginan dan sianosis.
7)
Kematian dapat berlangsung sangat
singkat dari 20 menit sampai 36 jam.
b.
Gangguan pembekuan darah.
1)
Partikel air ketuban dapat menjadi
inti pembekuan darah.
2)
Mengandung faktor-faktor yang dapat
menjadi freger terjadinya introvaskuler koagulasi.
3)
Mengaktifkan system fibrinolisis dan
bekuan darah sehingga terjadi hipofibrigonemia dan menimbulkan perdarahan dari
bekas implantasi plasenta.
4)
Kekurangan O2 dan menyebabkan
anaerobic metabollisme dalam otot uterus, menyebabkan atonia uteri sehingga
terjadi perdarahan.
7.
Pathogenesis
Mekanisme
yang tepat tidak diketahui, dikemukakan dua buah teori, yaitu :
a.
Adanya glokade mekanis yang amat
besar pada pembuluh darah pulmonalis oleh emboli partikel bahan dalam cairan
ketuban, khususnya mekonium.
b.
Adanya reaksi anatilaktik terhadap
partikel bahan tersebut.
Tiga aspek
utama pada syndrome ini mungkin dihasilkan oleh gabungan proses mekanis dan
spastic:
a.
Penurunan mendadak jumlah darah yang
kembali kejantung kiri dan berkurang output ventrikel kiri yang menimbulkan
kolaps pembuluh darah tepi.
b.
Hipertensi pulmoner yang akut, cor
pulmonale, dan dekompensasi jantung kanan menghasilkan edema perifer.
c.
Aliran darah yang tidak teratur
dengan kekacauan ratio ventilasi/berfungsi membawa anoksemia dan hipoksia
jaringan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya eyanosis, kegelisahan, konvulsi,
dan koma.
8.
Upaya preventif.
a.
Perhatikan indikasi induksi
persalinan.
b.
Memecahkan ketuban saat akhir his,
sehingga tekanannya tidak terlalu besar dan mengurangi masuk kedalam pembuluh
darah.
c.
Saat seksio sesarea, lakukan
penghisapan air ketuban perlahan sehingga dapat mengurangi:
1)
Asfiksia intrauterine
2)
Emboli air ketuban melalui perlukaan
lebar insisi operasi.
9.
Pengobatan
a.
Pemberian transfuse darah segar.
b.
Fibrinogen.
c.
Oxygen.
d.
Heparin/trasylor.
(obstetric patologi:128).
E. PERLUKAAN JALAN LAHIR
1.
Definisi
Perdarahan
dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik,
dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
2.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.
Robekan Perinium
Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan
dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium
merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995).
Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo,
1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan
urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis
di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator
ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus
phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia
obturatorius.
Serabut
otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum,
membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah
antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada
tulang ekor.
Diafragma
urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah
segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital
terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor
uretra dan selubung fasia interna dan eksterna.
Luka
perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium
dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
1) Luka
perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
Tingkat I :
Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot
perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot
spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
2) Umumnya
terjadi pada persalinan karena :
a) Kepala janin terlalu cepat lahir
b) Persalinan tidak dipimpin
sebagaimana mestinya
c) Jaringan parut pada perinium
d) Distosia bahu
3) Tanda dan
Gejala yang selalu ada :
a) Pendarahan segera
b) Darah segar yang mengalir segera
setelah bayi hir
c) Uterus kontraksi baik
d) Plasenta baik
4) Gejala dan
tanda yang kadang-kadang ada :
a) Pucat
b) Lemah
c) Menggigil
b.
Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa
yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi.
Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan
meninggal dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian
ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat
dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi
janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salah satu
diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat
pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan
tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Menurut
waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1) Ruptur Uteri Gravidarum adalah
rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2) Ruptur Uteri Durante Partum adalah
rupture yang terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis
inilah yang terbanyak.
Ruptur uteri dapat dibagi menurut
beberapa cara :
1)
Menurut lokasinya:
a)
Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah
pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik (korporal), miemoktomi
b)
Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus
yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan
akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c)
Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan
ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d) Kolpoporeksis, robekan-robekan di
antara serviks dan vagina
2)
Menurut robeknya peritoneum :
a)
Rupture uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut
peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara
rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
b)
Rupture uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut
robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke
ligamen latum
3)
Menurut etiologinya
Ruptur uteri spontanea menurut
etiologinya dikarenakan dinding rahim yang lemah dan cacat, bekas seksio
sesarea, bekas miomectomia, bekas perforasi waktu keratase.
4)
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
a)
Ruptur uteri kompleta
o Jaringan peritoneum ikut robek
o Janin terlempar ke ruangan abdomen
o Terjadi perdarahan ke dalam ruangan
abdomen
o Mudah terjadi infeksi
b)
Ruptura uteri inkompleta
o Jaringan peritoneum tidak ikut robek
o Janin tidak terlempar ke dalam
ruangan abdomen
o Perdarahan ke dalam ruangan abdomen
tidak terjadi
o Perdarahan dapat dalam bentuk
hematoma
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Komplikasi
persalinan kala III merupakan masalah yang terjadi setelah janin lahir/ berada
diluar rahim. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan yang sering menyebabkan
kefatalan/kematian bila tidak ditangani sesegera mungkin. Perdarahan post
partum dibagi menjadi dua yaitu perdarahan primer dan sekunder,
perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu.
Hal-hal yang menyebabkan perdarahan post partum adalah; Atonia uteri, retensio
plasenta, perlukaan jalan lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus,
tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya klotiledon atau plasenta
suksenturiata. Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh kelainan proses
pembekuan darah akibat dari hipofibrinogenemia(solution plasenta, retensi janin
mati dalam uterus, emboli air ketuban).
Penanganan yang dilakukan pada setiap kasus berbeda-berbeda tergantung pada
kasus yang diderita/ banyaknya perdarahan. Misalnya pada atonia uteri
penanganannya dengan melakukan Kompresi Bimanual Interna/Eksterna, bila
perdarahan tidak dapat diatasi untuk menyelamatkan nyawa ibu maka dilakukan
histerektomi supravaginal. Pada retensio plasenta penanganannya manual
plassenta. Sedang pada inversion uteri penanganannya dengan reposisi pervaginam
jika masih tetap maka dilakukan laparotomi, dan pada perlukaan jalan lahir maka
penanganannya dengan penjahitan.
B. SARAN
1.
Bidan dan tenaga kesehatan
lainnya
Dalam
memberikan asuhan kebidanan harus sesuai standar manajemen kebidanan, sehingga
masalah yang dihadapi klien teratasi.
2.
Klien
Klien
hendaknya bersifat kooperatif dengan tenaga kesehatan dan mengikuti segala
saran dan nasehat dari tenaga kesehatan.
3.
Pembaca
Kami menyarankan supaya pembaca tidak hanya berpatokan pada
makalah kami ini saja untuk dijadikan bahan belajar. Alangkah baiknya
bila para pembaca mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan makalah kami ini
pada buku sumber yang lain atau pada media lainnya. Sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan para pembaca tentang Komplikasi Persalinan Kala III.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
JNPKKR-POGI. 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
2. Nugroho, Taufan. 2010. Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogjakarta : Nuha medika.
3. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I dan jilid II. Buku kedokteran. Jakarta : EGC
4. Sujiyatini,
dkk,. 2011. Asuhan Kebidanan II
(Persalinan). Yogyakarta : Rohima Press
5.
Winknjosastro,
Hanafi. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar