Berbagi ilmu dan pengetahuan yang kita miliki, bisa kasih komentar atau masukan disini :)

Kamis, 18 April 2013

Artikel KET (Kehamilan Ektopik Terganggu)


Kehamilan Ektopik Terganggu
Ni K. Octarini Maya Sari


Tujuan Intruksional Umum
Memahami penanganan kehamilan ektopik terganggu

Tujuan Intruksional Khusus
1.        Mengetahui dan menangani penyebab kehamilan ektopik terganggu
2.        Mengetahui dan memahami patofisiologi kehamilan ektopik terganggu
3.        Mengenali gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu
4.        Mengetahui dan menangani bahaya dan komplikasi kehamilan ektopik terganggu
5.        Mengetahui dan memahi cara penanganan kehamilan ektopik terganggu


Pengertian
Ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat yang semestinya”.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga uterus, Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun, frekwensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0%-14,6%. apabila tidak diatasi atau diberikan penanganan secara tepat dan benar akan membahayakan bagi sipenderita1.
Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga dipakai,oleh karena terdapat beberapa jenis kehamilan ektopik yang berimplantasi dalam uterus tetapi tidak pada tempat yang normal1.
Kehamilan ektopik terganggu adalah terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterik. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik terganggu karna kehamilan pada pars interstisialis tubah dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu1.

Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah:
1.    Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur.
2.    Riwayat operasi tuba.
3.    Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.
4.    Kehamilan ektopik sebelumnya.
5.    Aborsi tuba dan pemakaian IUD.
6.    Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.
7.    Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.
8.    Operasi plastik pada tuba.
9.    Abortus buatan(2,3).

Patofisiologi
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini yaitu :
1.    Kemungkinan “tubal abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.
2.    Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba.
3.    Faktor abortus ke dalam lumen tuba.
4.    Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda.
5.    Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian2.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah:
1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,
2) abortus ke dalam lumen tuba, dan
3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa.
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan.
Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen6.

Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu2.
Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya2.
Kehamilan ektopik dapat juga ditandai dengan Amenore; gejala kehamilan muda; Nyeri perut bagian bawah, pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai syok, pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi menjalar ke tempat lain, bila darah sampai ke diafragma bisa menyebabkan nyeri bahu, bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi; perdarahan pervaginam berwarna coklat tua3.

Diagnosis
Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan melihat :
1.    Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.
2.    Pemeriksaan fisik
a.    Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
b.    Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
c.    Pemeriksaan ginekologis
3.    Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
4.    Pemeriksaan Penunjang
a.    Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
b.    USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri
c.    Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
d.   Adanya massa komplek di rongga panggul
5.    Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah.
6.    Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
7.    Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus(3,4).

Penanganan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat2.
Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan transfusi, infus, oksigen, atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit2.
a.    Penatalaksanaan medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tindakan konservativ medik dilakukan dengan pemberian methotrexate. Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
      Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: 1) keadaan hemodinamik yang stabil dan tidak ada tanda robekan dari tuba, 2) tidak ada aktivitas jantung janin, 3) diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan laparaskopi, 4) diameter massa ektopik < 3,5 cm, 5) kadar tertinggi β-hCG < 15.000mIU/ ml, 6)
b.    Penatalaksaan bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin, seperti Salpingostomi dan Salpingotomi


Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
a.     Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
b.     Infeksi
c.     Sterilitas
d.     Pecahnya tuba falopii
e.     Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio

Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50% (1,5).



Daftar Pustaka
1.        Wiknjosastro, H ; Saifuddin, A.B ; Rachimhadhi, T. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Cetaka Keempat. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2008 : 250-255
2.        Nugroho, Taufan. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan. Cetakan Pertama. Nuha Medika. Yogyakarta. 2010 : 55-60
3.        Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 3. Cetakan Pertama. Media Aesculapius. Jakarta. 2000 : 267-270
4.        Budi. Anthonius. Kehamilan Ektopik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001 : 57-64
5.        Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri. Jilid 1. EGC, Jakarta. 2000 : 226-235
6.        Rachimhadhi T. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar